Komarudin Story 1
Di Kaki Gunung Guntur Garut Jawa Barat
******************************************
Jawa Barat, Tatar sunda, pasundan, priangan, parahiyangan siapa yang tak kenal ayuh?? Kebangetan kalau sampai nggak kenal…! Kalau benar belum tau, coba saja tanya sama mbah gugel pasti ada banyak info disana. Tatar sunda, Tempat ini terkenal dengan rangkaian pegunungan dan dataran tinggi yang hijau ranau, udara sejuk segar, dengan air sungai melimpah ruah yang mengalir deras, jernih nan bening tempat hidupnya ikan-ikan yang sehat. Dengan penduduknya yang disebut “orang sunda” yang terkenal periang, ramah-ramah, berkulit putih dan terkenal kecantikan muda mudinya yang disebut “Mojang priangan”. Didaerah inilah tepatnya di hari kamis, saat-saat menjelang waktu Ashar, tanggal 05 Nopember tahun 1988 aku terlahir dan merupakan berkah dari Allah SWT untuk hidup, tumbuh dan berkembang dalam buaian ayah dan ibunda tercinta serta 6 saudara laki-laki dan 1 saudara perempuanku. Lebih tepatnya, aku terlahir di bagian utara kaki gunung Guntur Kec Leles Kabupaten Garut. Kampung tercintaku adalah Kampung Nagrog tengah RT 11/04 Desa Lembang yang selalu diliputi rasa penuh kekeluargaan yang tinggi. Kampung ini diapit oleh kampung Nagrog Tonggoh dibagian atas, Nagrog Lebak dibagian bawah, Kampung Ciseupan disebelah barat, dan kampung Bongkor dibagian timur. Alhamdulillah Aku diberi nama Komarudin, yang memiliki makna yang baik (Komar, dari bahasa arab Al-Qomar=rembulan, dan kata Din berasal dari Addiin = Agama Islam. Jadi secara terminology mungkin maksud namaku adalah Rembulannya Agama Islam, Ya rembulan yang memberikan cahaya kelembutan ditengah kegelapan malam, mudah-mudahan nama ini menjadi do’a dan aku mampu mengemban tugas dalam nama ini serta kudapat menjaga kehormattannya, aamiin). Secara lengkapnya namaku adalah Komarudin bin Enan bin H. Samri bin Ustamad. Aku dilahirkan oleh ibunda yang paling kusayangi didunia ini, beliau yang bernama Yeyeh bin Mama Makbul bin Mama Ardi. Aku adalah anak paling bungsu dari 8 bersaudara yakni A Jajang Rohman, A Habib Majid, A Hamdani, A Sodikin, A Ade Sulaeman (Alm), A Mansur dan Teh Siti Rodiah. Ayahanda memiliki saudara putri Yakni Wa Omes yang keduanya lahir dari pasangan H. Samri dengan Nenek Enda. Nek Enda ini merupakan putri dari pasangan abah Syafii bin Iyas dengan Eteh Edah. Sementara Nenekku dari Ibu adalah Nek Ikik yang merupakan putri dari H Sabana bin H Abu Bakar bin Ki Wana. Nek Ikik ini hanya memiliki satu saudara kandung yaitu Ki Amin. Wah hebat yaaa,, ternyata nenek moyang dan leluhurku banyak yang bertitel Haji dan Mama Guru. Hemmmm jadi termotivasi untuk ke tanah suci nihhh. Tapi kapan yaa??. Ya itulah dia sedikit gambaran silsilah keluargaku. Sementara Dulur-dulur (Saudara) terbanyak di kampungku adalah saudara dari pihak ayahanda. Diantaranya adalah saudara yang berasal dari putra putri wa Omes yang menikah dengan Wa Barni dan melahirkan Kang Abas, Kang Encep, Ceu Titing, Ceu Eulis dan Kang Ade asa. Ditambah lagi Ma H Samri menikah lagi dengan H Ikar sepeninggal Nek Enda. Sehingga ayahanda juga memiliki saudara tiri yaitu bi yayah, bi eutih, bi itoh, bi epon, mang aep, mang ade, mang manang, mang wawan, mang didin dan bi Ai. Selain itu juga saudara sedulur datang dari kakek H. Samri yang memiliki saudara kandung yang banyak yaitu ki Sarnuji, Ki Eon, Ki Sanuki, Nek Emat, Ki Sanemah dan Nek Enoh yang masing-masing memiliki keturunan yang banyak pula. Sebagian besar saudara-saudara dari ayahanda ini tinggal di kampung Nagrog. Sementara Saudara-saudaraku dari ibu adalah saudara kandung Ibunda yaitu Wa epon, Wa Ika, Wa Ooh, Wa H. Mubin, Wa Aram, Wa H Engkey, Wa H Rahmat, Om Yaka dan Om Hakim yang merupakan putra putri dari pasangan Mama Makbul dan Nek Ikik. Dari putri wa epon sedulurku adalah Teh Entat, Teh encuy dan Teh Oneng, mereka ini sebagian besar tinggal di Kampung lembang. Dari putra-putri Wa Ika sedulurku ada Ka Mahrip, Ceu Rimu, Ceu Kokom, Kang Iis dan Kang Iwan. Keluarga dari wa ika ini semuanya tinggal di Jakarta sehingga jarang sekali bertemu. Dari Wa Ooh sedulurku ada A Lalan, A Agus, Ceu Yayat, dan Ceu Deded (pengasuhku). Keluarga ini sebagian besar tinggal di kampung nagrog. Dari Wa H Mubin sedulurku Teh Elin, Teh ayi, Teh dewi, A Wahyu, dan Teh Alit (alm). Keluarga dari wa H Mubin ini semuanya juga tinggal di Jakarta sehingga jarang sekali bertemu. Dari Wa Aram sedulurku ada Kang Ujang, Kang Aep, Ceu Enyas, Ceu Neuis, Teh Eneng, Kang Ujang Endang, Teh Eneng dan kang agus. Keluarga dari wa aram ini semuanya tinggal di bojongsalam, kec Kadungora. Dari Wa H rahmat sedulurku Kang Agus, Kang nana, Kang Anton dan Teh eneng Keluarga dari wa H Rahmat ini semuanya tinggal di kerenceng kec kadungora dan ada juga yang tinggal di Bandung sehingga jarang sekali bertemu. Dari Om Yaka sedulurku ada Dik Rina, Dik Rohman, dan Doni. Dan Dari Om Hakim sedulurku ada Dik Risa, Dik Ninop dan dik Ikbal. Keluarga dari Om Yaka Dan Om Hakim ini semuanya juga tinggal di Jakarta sehingga jarang sekali bertemu. Wah wah wah banyak betul ya saudara-saudaraku ini, meskipun mungkin mereka tidak mengenal nama dan wajah saya karena jarang berjumpa, atau karena tempat tinggalnya yang berjauhan tetapi setidaknya saya tahu kalau mereka semua adalah saudara saya. Ya itulah gambaran dari suasana kampung yang diliputi semangat kekeluargaan yang selalu menjadi bahan kerinduan disamping suasana alamnya yang menawan. Suasana alam yang asri membimbingku untuk tumbuh dan berkembang dengan selimut udara dingin yang menusuk tulang. Gunung Guntur yang membiru dengan pohon-pohon tingi besar berdaun hijau lebat yang menjulang dengan akar kuat nan kokoh kedalam bumi senantiasa menberikan sirah cai (mata air) yang mengalir di wahangan (sungai) ciharus kepada kampung kami untuk mengairi sawah, kolam ikan atau untuk mandi dan mencuci. Namun selain dari sungai, air bersih juga bisa kami dapatkan dari mata air-mata air disekitar rumah ataupaun dari sumur-sumur galian yang senantiasa memberikan air jernih.
Begitulah keadaanya, airnya yang jernih dan melimpah membuat warga kampung selalu bersemangat untuk membuat kolam-kolam ikan dan pancuran (jamban yang airnya dibiarkan mengalir terus menerus tanpa ditutup kran). Jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan adalah ikan air tawar seperti ikan mas, nila, nilem, gurame, deriskap dan ikan lele.
Kegiatan harian warga kampungku yang utama adalah bertani, mereka adalah para pekerja keras, giat, rajin dan selalu bersemangat. Disawah mereka menanam padi, palawija dan sayur mayor. Sementara di leuweung (hutan) mereka menanam tembakau, huma, palawija dan umbi-umbian. Warga kampungku juga merupakan para pemburu yang ulung, apalagi saat-saat menunggu panen padi huma atau jagung mereka sering mondok (bermalam) dihutan. Mereka membuat saung (gubuk) tempat berteduh dan tidur. Pada masa-masa mendekati panen atau saat berbuah, Tanaman padi huma atau jagung harus ditunggui karena banyak diserang oleh bagong (babi hutan). Atau bila panen tembakau yang sangat banyak, maka mereka biasanya ngeureut (merajang), moe (menjemur) dan ngibun (membiarkan tembakau diluar pada malam hari supaya mendapat air embun) dihutan supaya tidak terlalu banyak beban pengangkutan.
Begitulah keadaannya, alam yang asri menemaniku dalam tumbuh dan berkembang, semenjak kecil aku diajari untuk hidup mandiri, membantu orang tua, membantu kakak dan rajin belajar. Aku belajar ngarit (mencari rumput) disawah-sawah atau dikebun untuk pakan si Genjlong ataupun si Cakra (Domba garut) kebanggaan ayah. Mereka adalah domba garut yang gagah dan tegap. Sigenjlong memiliki tanduk tipe bendo, sementara Si Cakra memiliki tanduk tipe kumbang sehingga kadang banyak orang datang kerumah hanya untuk menonton domba yang membuat senang orang yang melihatnya. Selain itu aku juga diajari ngala suluh (kayu bakar) untuk membantu ibu memasak nasi ataupun untuk naheur cai (masak air). Bila ibu pergi kesawah atau ke hutan, maka aku akan selalu ikut dan berjalan didepannya, itu karena kakak-kakakku pergi ke sekolah. Atau jika tidak maka aku akan dititipkan dirumahnya sepupu ibu yakni ceu deded ataupun ceu yayat (almarhum) untuk main bareng si Eful, ataupun si Basri. Ya itulah mereka teman mainku waktu kecil dulu. Atau aku akan main bersama si Keoh (Sumarna) namun aku kurang akur sama dia sehingga kami sering garelut (berantem) dan menangis. Yahhhh… maklum anak-anak ada saja yang diperebutkan, berebut kelereng lah, berebut gambar lah, karet, bola ataupun ketapel. Ucing-ucingan (main kejar-kejaran) adalah Permainan tradisional yang sering kami lakukan saat berkumpul di sore hari seperti cing kiripit atau kacang panjang, ucing lumpat, polisi-polisi, petak umpet, main pris-prisan dan patungkup. Pada musim kemarau atau musim-musim tanaman palawija bila sore hari aku pergi ke sawah bermain layang-layang sepuasnya hingga petang hari. Saat pabaru walanda (tahun baru masehi) biasanya bertiup angin kencang sehingga sering main baling-baling bamboo buatan ayah atau kalau tidak ada teman bermain maka aku akan mengganggu anak-anak putri yang sedang bermain sapintrong, engkle dan bekles sehingga mereka marah dan mengejar sampai jauh keluar kampong atau kesawah, selain itu aku juga bermain kelereng atau bermain perahu kertas yang diberi sabun cream dibagian bawahnya kemudian dilepaskan dikolam ikan sehingga perahu itu akan berjalan dan berputar seolah olah hidup oleh mesin, ooohh sungguh perahu yang mengasyikkan. Olahraga yang kugemari adalah sepak bola, renang (meskipun dengan gaya batu), catur dan bola voly. Kalau aku sudah bermain catur, maka lawanku yang paling tangguh adalah A Jajang dan A Habib yang tak lain mereka adalah kakakku sendiri he he he he. Ya begitulah aku tumbuh dan berkembang ditengah keceriaan anak-anak kampong yang lugu, polos dan selalu riang.
Komarudin Story 2
Si Kecil Yang Takut Sekolah
*****************************
Pernak-pernik bola karton dan pita-pita ulang tahun bergelantungan dipanggung. Aku mulai merasa kalau aku ingin memiliki bola-bola itu. Namun tempat itu terlalu ramai, banyak orang, anak-anak, pedagang, ibu-ibu, bapak-bapak dan siswa-siswi berseragam merah putih. Pada hari itu adalah hari kenaikkan kelas kakakku teh siti rodiah (teh Ai). Ya hari itu ia naik dari kelas 4 ke kelas 5 tahun ajaran 1994/1995. Ia sekolah di SD Negeri VII lembang di Kampung Caringin. Kulihat ia sangat berbahagia sekali, hari itu ia mendapat hadiah buku dan alat-alat tulis karena dia berhasil menjadi sang juara, menjadi ranking 1 dikelasnya. Kebahagiaan juga kusaksikan pada raut muka kedua orang tuaku yang turut menyaksikannya. Tapi aku belum terlalu mengerti dengan apa yang terjadi, karena usiaku yang baru menginjak usia 6 tahun. Perhatianku hanya tertuju pada bola-bola dipanggung itu, dan juga kepada ba’so cilok yang tengah kunikmati. Seusai acara kenaikkan kelas ayah menuntunku menuju ruangan pak Guru, aku masih ingat nama gurunya pak Aan. Diruangan itu banyak orang tua yang sedang mendaftarkan anak-anaknya untuk tahun ajaran baru. Tiba-tiba aku merasa takut dan ingin segera keluar dari ruangan itu, aku merasa takut kalau-kalau ayah mendaftarkan aku ke sekolah. Ternyata tebakanku tidak salah, ayah mau mendaftarkanku sekolah. Ohh tidak, Aku tidak mau sekolah, begitulah pikiranku berbisik waktu itu. Namun sepertinya ayah bersikukuh akan mendaftarkanku ke sekolah dasar itu. Aku mencoba berkata kalau aku tidak mau sekolah, aku takut, entah mengapa aku merasa takut, padahal aku sudah bisa berhitung dan membaca, namun pokoknya aku tidak mau sekolah. Aku berontak, kemudian mengeluarkan jurus pamungkas yang kumiliki saat itu “menangis” dan pergi meninggalkan ruangan itu. Dan pada akhirnya aku berhasil, yaa aku berhasil aku tidak jadi didaftarkan sekolah dasar. Aku juga merasa heran, kenapa waktu itu aku sangat takut untuk masuk sekolah, padahal tidak ada alasan yang kuat untuk membuatku takut. Akhirnya ayahpun mengerti perasaanku dan kamipun beranjak pulang meninggalkan sekolah itu, namun saat akan pulang mataku masih menatap bola-bola karton yang menggantung diatas panggung itu. Aku mulai berpikir kalau bola-bola itu harus ikut pulang dan menjadi milikku. Akupun berbisik pada ayah dan menunjuk pada bola-bola itu. Dan yaa akhirnya, bola itu boleh diminta, dan boleh dibawa pulang. Wah senangnya bukan main. Satu tahun setelah itu, barulah aku masuk sekolah, namun bukan sekolah di tempat kakakku sekolah, aku sekolah di tempat berbeda, yakni di SD Negeri 1 Lembang.
Komarudin Story 3:
Alif Be Te Tse
*********************
Belum ada banyak hal yang dapat kuingat waktu itu, namun yang jelas dipagi buta sekali aku dibangunkan oleh ayah ba’da sholat subuh. Didapur kulihat juga banyak orang sibuk memasak. Ya hari itu aku mau dikhitan, usiaku sekitar 6 tahun waktu itu, begitulah kata orang-orang rumah. Nanti aku bakal dapat uang banyak, banyak orang yang nyecep (memberi uang). Sebelum berangkat ke rumah dokter praktik, aku disuruh sarapan dulu, makan sate domba dengan kerupuk kemplang. Dan beberapa biji burayot (kue-kue manis dari tepung ketan) buatan ceu Deded aku makan pula. Burayot merupakan makanan favoritku waktu itu. Aku didandani dengan pakaian serba baru baju gamis, peci hitam cap H Iming, dan sarung. Dengan diantar menggunakan mobil pick up mang Didin, aku dan ayah pergi ke Leles. Mang Didin adalah teman baik ayah, rumahnya ada di kampung lembang, putranya mang Didin adalah temanku juga, namanya si Enay, namun dia lebih tua satu tahun dariku. Kami bertiga pergi ke Leles untuk menuju rumah praktiknya dr H Dono. Sepanjang perjalanan perasaanku bercampur baur, antara takut dan senang. Aku merasa takut, karena menurut cerita kakak-kakakku di khitan itu rasanya sakit banget, bahkan bisa sampai satu minggu sakitnya. Tapi aku juga merasa senang karena akan banyak menerima uang panyecep dan aku bisa membeli sepeda baru nantinya. Hari masih begitu pagi, dengan udaranya yang masih dingin, namun kami sudah berada di Rumah praktiknya pak dokter. Dan kami disuruh menunggu oleh pelayan karena pak dokter sedang menangani anak yang dikhitan. Waktu itu tiba-tiba bulu kudukku merinding, aku merasa takut karena kudengar ada suara anak yang menangis keras dan suara ribut orang tua yang menenangkannya dari kamar pasien. Mang Didin yang melihatku hanya tersenyum saja. Tenang, moal nanaon lah, kapanan jagoan maneh mah lain?? Begitulah kata-kata yang keluar dari mulutnya, mencoba menghiburku. Dan saat tiba giliranku untuk dikhitan, aku dituntun ayah masuk kamar pasien, kemudian disuruh berbaring diatas ranjang. Pak Dokter kemudian menyuruh ayah dan mang didin untuk memegangi tanganku supaya tidak berontak. Wah hatiku dag-dig dug der, jantungku berdetak keras banget, padahal aku belum diapa-apakan. Kemudian Mang Didin melepaskan peciku dan menutupkannya ke wajahku dengan peci itu. Akupun hanya bisa memejamkan mata dan pasrah, tiba-tiba ahhhhhhh rasanya seperti digigit semut. Aku hanya sedikit meringis namun tidak bergerak sama sekali. Tidak lama kemudian, peci yang menutup wajahku dibuka, dan mereka berkata selesai. Wah jagoan euy teu berontak saeutik-eutik acan. Dan pak dokterpun merasa heran, melihat anak sepertiku, jarang sekali anak yang tenang dan tidak menangis saat dikhitan. hahaha aku memang jagoan. Setelah semua usai, kamipun pamit dan beranjak pulang ke rumah. Dirumahku ternyata sudah banyak orang-orang berkumpul, aku disambut dengan gembira dengan berbagai macam hidangan telah tersaji diruang tengah. Walaupun aku masih merasa sakit (linu-linu) tapi aku merasa senang. Ternyata betul juga apa yang dikatakan oleh kakak-kakakku para tetanggapun berdatangan dan nyecep kepadaku, hingga tangan dan saku bajuku tak mampu lagi menampung uang. Mereka mengucapkan selamat, kemudian makan-makan dirumah. Seminggu setelah acara khitan, keinginanku terkabul aku dibelikan sepeda baru “sepeda federal” warna merah ati. Namun aku belum bisa naik sepeda karena kondisiku belum sembuh total. Kegembiraanku yang lebih besar daripada sepeda baru adalah aku sudah diperbolehkan belajar Al Qur’an, yaa aku sudah boleh pegang Al Qur’an kecil alif alifan (sejenis Iqra). Menurut orang dewasa waktu itu, anak yang belum dikhitan tidak boleh pegang al qur’an. Aku diajari Wudlu oleh kakakku A Sodikin, dialah yang paling rajin mengajari aku segala hal. Mulai dari Wudlu, Sholat, Berhitung, Membaca dan bahkan aku diajari juga bela diri pencak silat yang kebetulan waktu itu Kampung Nagrog lagi gencar-gencarnya ngamumule (mempertontonkan, menggalakan) seni bela diri pencak silat “Putra Kujang Padjadjaran”. Anak kecil waktu itu belum boleh ngaji di Mesjid, Karena di Mesjid adalah tempat ngajinya orang-orang dewasa yang sudah fasih al Qur’an dan belajar kitab. Waktu itu aku ngaji dirumahnya ceu Deded, bareng sama teh ai, sama si Eful, si Basri dan Si Slamet. Namun setelah Ceu deded pindah rumah ke Lembang saat, Kemudian ngajiku pindah lagi ke rumah Bi Enay, ngaji bareng teh Ihah, the ai, si Ucok, si Jajang si Sumarna dan siapa lagi yaa, aku lupa nama-namanya. Aku mulai ngaji dari nol, dari tidak mengerti, dari tidak tau apa-apa dengan menggunakan alif-alifan (sejenis iqra, turuttan, jawa red). Belajar al Qur’an itu ada tahapan-tahapannya, orang tidak bisa langsung membaca pintar, dengan tajwid atau lagu panjang pondok, namun harus setahap demi setahap.
Aku belajar ngaji tiap ba’da maghrib, Dengan ta awudz “a‘udzubillaahiminasysyaithoonirroojiim” dan basmalah “bismillaahirrohmaanirroohiim” kemudian alif, be te tse jim kha kho dal dza re je sin sya sho dho tho dhod ain gin fe kof kaf lam mim nun wau he lam alif hamzah ya. Kemudian alif jabar a, alif jeer i, alif pees u, a-i-u. kemudian be jabar ba, be jeer bi, be pees bu, ba-bi-bu dan seterusnya sampai tamat. Kemudian aku membaca alif jabar dua an, alif jeer dua in, alif pees dua un, an-in-un. Be jabar dua ban, be jeer dua bin, be pees dua bun, ban-bin-bun dan seterusnya sampai tamat. Kemudian aku membaca alif nun tasydid jeer in, nun ya maeh jeer ni, innii. Be nun tasydid jeer bin, nun maeh ya jeer nii, binnii dan seterusnya sampai tamat. Kemudian aku membaca alif maeh wau pees u, nun jabar na, uuna. Be maeh wau pees bu nun jabar na, buuna dan seterusnya sampai tamat. Kemudian aku membaca alif lam tasydid jabar al, lam jabar laa, allaa. Be lam tasdid jabar bal, lam jabar la, ballaa dan seterusnya sampai tamat. Setelah selesai itu kemudian aku lanjut lagi dengan ngejah (membaca dipotong-potong per kalimat) surat alfatihah dan surat al baqarah hingga selesai juz 1. Tahapan inilah yang membutuhkan waktu cukup lama. Aku baru bisa merampungkan ngejah saat kududuk di bangku SD kelas dua. Setelah itu aku lanjut narabas (membaca per ayat) dirumahnya bi Ai mang encep di lekor tiap ba’da Ashar hingga menjelang maghrib, bersama si basri, si jaen, aceng, sumpena, asep, agus, nyai, wiwin, amel, tika dan ujang acai. Bila pulang sore hari, kami sering makan kulub hui, yang disuguhkan bi Ai, rasanya manis banget, seperti pakai gula. Kami pulang menyusuri sawah lekor, lembang, kemudian terus naik ke nagrog. Dirumah bi Ai, dilekor di tempat itulah aku khatam al Qur’an sebanyak dua kali mulai dari kelas 3-6 SD. Aku sempat pula belajar di madrasah baru Mang Encep Bi Ai didaerah Ciharus penclut, karena Rumah mereka pindah dari lekor ke Ciharus. Namun ngaji disini tidak lama, karena saat itu aku sudah mulai masuk sekolah di SLTPN 1 Kadungora dan sering pulang sore hari, sekitar jam 17.00 WIB. Maka dari itu, karena aku sudah lancar narabas, maka aku lanjut belajar tajwid dan panjang pendek di Mesjid Al Hidayah Nagrog bersama mang Manang waktu aku sekolah SMP-SMA tiap ba’da maghrib hingga Isya berjamah sholat di mesjid itu. Temen ngajiku waktu itu adalah Si Gandul, Si Gotek, Si edi, jang jembar, jang engkom, aris, ana, enjah, mulyana, cucun, si basri, maryam, minar, nia, siti, ai, dan mira. Selain belajar Al Qur’an aku juga belajar kitab safinah, tijan, fikhulwadhi, fatuh atfal, dan jajariyah. Alhamdulillah Semenjak itu aku dapat membaca al qur’an dengan tartil atau dengan panjang pendek dan sempat juga sedikit belajar lagu qiraat, sehingga sering disuruh mengisi acara pembukaan pada acara PHBI seperti maulud dan Isra Miraj. Dan semenjak itulah aku sering mengkhatamkan al Qur’an apalagi saat bulan Ramadhan, aku mengkhatamkan al qur’an dalam satu bulan. Disekolah SMA aku ngaji bareng anak-anak HIRPI SMAN 1 Leles (Himpunan Remaja Pelajar Islam) bersama bapak dan ibu guru Pak Deni (Qur’an), Pak Mukhtar (Aqidah), Pak Ihin (Nahwu shorof) dan Bu Haji Euis (Hadits). Dan teman-teman HIRPI ada Kang Adi, Deden, Adi, Jamal, Bambang, Ahmad, Iis, Ai, Elin, Lia, Ayu, Dini, Emay, Tita, Imas, Dian, Evi, Yani, Yeni dan teman-teman lainnya yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Dan pada masa-masa kuliah di Yogyakarta, aku lebih sering tadarus sendiri di mesjid mesjid kampus Mujahidin UNY atau ngaji bareng Kang Adib, A Deden, Mz Uut, Mz Afriansyah. Di Mushola Al Furqon bareng casdik dan Nur Laksono, di Mesjid Al Falah bareng Ryan, Mesjid Nurul Iman Sarimulyo, Jl Kaliurang KM 4,5 di Nurul Iman inilah aku sempat ngaji bareng-bareng Muarif Choerus Siddiq (Teman SMP yang juga kuliah di UNY) dan ada Salman Sakti juga (Mantan Gitaris Sheila On 7, wuihhh keren tho…!) dan Mesjid terakhirku adalah Mesjid Al Hidayah Manukan Condong Catur Depok Sleman bareng Sofyan, Apri, Dian, Ginur, Hendro, mb Tari, Mb yuli, mb ayu, latifah, dewi, mb nur, dan anak-anak Remais GEMMA (Generasi Muslim Masjid Al Hidayah). Di mesjid ini sering diadakan pengajian. Orang terkenal di kancah politik juga pernah mengisi pengajian disini, yakni prof Dr dr Ali Mukti Gufran Msc PhD Dekan Fakultas Kedokteran UGM, yang kini menjadi orang penting di Kementrian Kesehatan pemerintahan SBY-Budiono. Di Yogyakarta aku lebih aktif dengan dunia Anak dan Pendidikan, seperti aktif di Kegiatan TKA-TPA, Sekolah dan Bimbingan belajar. Aku pernah masuk SPA (Silaturahim Pecinta Anak) pelem kecut dan pernah bimbel Iqra di SD Muhammadiyah Condong Catur, GAMMA COLLEGE, Les Privat dengan De Hengky, De Abi dan Mz Adit yang selalu semangat belajar kimiapun pernah ngaji bareng sebelum memulai les kimia, serta segala pernak pernik kegiatan Rohani di dunia kampus Yogyakarta. ooohh, sungguh menyenangkan.
Komarudin Story 4
Enam Tahun Juara di Gedung Merah Putih.
********************************************
Menunggu merupakan kegiatan yang paling membosankan bagiku. Padahal aku tidak menunggu apa-apa, aku hanya menunggu Ibu pulang dari sawah atau dari kebun. Kegiatan harian ayah dan ibu adalah bertani atau bercocok tanam, baik disawah maupun dikebun. Waktu itu usiaku sekitar 6 tahun. Apabila ibu pergi ke sawah atau ke kebun yang jaraknya dekat dengan rumah, maka aku biasanya ikut ibu, seperti ke sawah caringin atau ke sawah lembang, namun bila pergi cukup jauh seperti ke kebun bojong gowong pasir laja, maka aku tidak diperbolehkan ikut, karena tidak akan kuat diperjalanan, atau hanya akan merepotkan karena minta digendong. Saat – saat seperti itulah, aku akan berdiam sendiri dirumah, menunggu ibu pulang atau menunggu kakak-kakakku pulang sekolah. Atau aku akan pergi main sama si eful atau si basri atau si sumarna, kalau mereka sedang ada dirumah, tapi kalau tidak ada, yaa nasiblah aku ini tinggal sendiri dirumah. Pernah aku menangis sendiri dirumah karena tidak ada yang menemani, tiba-tiba ada seorang nenek-nenek yang membawaku ke daerah nagrog tonggoh, anehnya aku ini kok mau saja diajak sama dia, padahal aku belum kenal sama dia. Dan Setelah seharian main dirumahnya, barulah aku tahu kalo namanya itu nek Miah, begitu ibu menyebutnya. Akupun kembali ke pangkuan ibu, dan Tiada hal yang paling indah bagiku waktu itu, selain duduk dipangkuannya.
Bila malam hari tiba, saat maghrib maka aku pergi ngaji kerumahnya ceu Deded bareng si eful, si slamet dan si basri, namun setelah ceu Deded pindah rumah ke lembang saat, aku belajar ngaji dirumahnya bi Enay. Sepulang dari ngaji aku belajar berhitung dan membaca sama Ibu atau bersama A Ikin. Pada usia 5 tahun waktu itu aku sudah bisa berhitung mulai dari satu sampai seratus. Meskipun pada usia 6 tahun belum sekolah, namun aku sudah mengerti operasi penjumlahan, pengurangan dan bahkan sudah hafal perkalian 1-10. Pada usia 6 tahun aku sudah bisa membaca walaupun masih terbata-bata, waktu itu buku bacaan favoritku berjudul “Si Jarot Anak Republik” cerita yang mengisahkan masa-masa penjajahan belanda. Apabila malam jum’at atau malam minggu maka kampung nagrog tengah akan ramai dengan kegiatan “pencak silat” yang digurui oleh Pak Ecep. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa semua berlatih pencak, dengan seragam khas “Putera Kujang Padjadjaran” yang disebut “pangsi” berwarna hitam khas. Akupun ikut-ikutan dibelakang orang dewasa, bahkan aku sampai hafal 4-6 jurus waktu itu.
Pada tahun 1995 atau tepatnya pada tahun ajaran 1995/1996 aku mulai daftar masuk Sekolah Dasar, ya aku mulai masuk ke gedung merah putih, waktu itu usiaku sudah 7 tahun berjalan. Karena didesa kami masih belum ada TK sehingga aku langsung masuk SD. Aku sekolah di SD Negeri 1 Lembang, didekat balai Desa. Hari-hari pertama masuk sekolah, aku merasa asing dengan dandanan yang serba baru, baju seragam merah putih, dengan rompi merah dan topi merah semuanya berlogo tut wuri handayani, sepatu hitam dan tas gendong hitam. Didalam kelas aku merasa sesak, ruangan itu terlalu penuh dengan manusia pikirku, tidak hanya siswa siswi baru saja yang ada dikelas, tapi banyak pula ibu-ibu orang tua siswa yang masuk kelas. Aku merasa heran, Kenapa harus diantar ibu-ibu, manja banget mereka itu pikirku, karena aku sendiri tidak diantar siapapun juga. Tidak lama setelah itu, semua siswa disuruh keluar dan berbaris dilapangan upacara. Satu demi satu siswa dipanggil dan dipisahkan oleh ibu Guru. Aku baru mengerti, ternyata sekolahku ini terbagi menjadi dua, kelas, namun gedungnya hanya satu. Sekolah ini tebagi menjadi kelas pagi dan kelas siang. Namun kelas ini hanya untuk siswa kelas 1 dan kelas 2 karena jumlah siswa baru yang terlalu banyak. Waktu itu SDN Lembang 1 dikepalai oleh Bpk Empon Duspandi namun kemudian digantikan Bpk Juandi kemudian digantikan oleh Ibu Suhaebah dan kemudian digantikan lagi oleh Bpk Juandi. Siswa kelas pagi, sebagian besar adalah siswa yang berasal dari kampung Bongkor dan kampung Nagrog, sementara kelas siang Sebagian besar adalah siswa yang berasal dari kampung Lembang dan Kampung Lekor. Karena sekolah ini hanya satu atap, maka kedua SD ini di Rotasi, SD 1 masuk pkl 07.00 WIB- 09.30 WIB (Kelas Pagi). Dan SD 3 masuk pkl 10.00 WIB – 12.30 WIB (Kelas Siang). Namun seiring waktu berjalan atau menginjak kelas 3 jumlah siswa semakin berkurang, karena banyak yang putus sekolah sehingga kelas pagi dan siang menjadi satu kelas. Karena aku berasal dari kampung Nagrog, maka aku mendapatkan kelas pagi. Senangnya waktu itu, karena aku mendapat teman-teman baru yang sangat banyak, teman-teman sekolahku waktu itu adalah Si Irfan, Atep, Gin-gin, Yanto, Ude, Asep aming, Bayu, Panji, Jajang, Dani, Maman, Nun (anak paling cantik), neng, siti, ai, enong, jumling, Tini, Oyoh, Iis dan siapa lagi yaa aku lupa??. Wali kelas sekaligus guru kami waktu itu bernama Ibu Wati Prihastuti yang baik hati. Sebelum pelajaran dimulai kami disuruh membaca surat Al Fatihah dahulu. Pelajaran pertama yang kami terima adalah menulis huruf abjad Kapital A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z. Kemudian menulis huruf abjad Kecil a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z , dan menulis huruf abjad, huruf serat (di kertas bergaris) a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z. Karena aku sudah terbiasa menulis dan membaca dirumah, maka materi itu tidak terlalu sulit bagiku. Saat Ibu Wati mengajarkan mengeja semua abjad, maka aku mengikutinya dengan mudah karena memang sudah hafal semuanya. Saat itu siswa yang ditunjuk menjadi ketua murid (KM) adalah Panji, namun seiring waktu berjalan karena Panji anaknya bangor (nakal), kemudian Ibu Wati mempercayaiku untuk menjadi KM. Salah satu kebiasaan baik dikelas adalah, sebelum pulang kami harus anteng-antengan, kemudian yang paling anteng ditunjuk untuk membaca tulisan beberapa paragraph di depan papan tulis. Aku adalah siswa yang selalu pulang terakhir, namun bukan berarti aku anak yang nakal, akan tetapi aku disuruh Ibu Wati untuk membimbing teman-temanku membaca didepan papan tulis satu persatu. Karena saat itu aku adalah siswa yang paling lancar dalam membaca. Begitulah hari-hariku saat itu, ditahun itu aku tidak lagi menunggu ibu pulang dirumah, karena aku sekarang sudah sekolah. Pulang sekolah aku bisa main sepuasnya dengan teman-teman baruku. Permainan yang paling sering kami lakukan adalah main kejar-kejaran (Polisi-polisi tumpang tanya sebentar). Nyanyian olok-olok waktu itu adalah nyanyian ciptaan si Ude, Suatu ketika dia naik ke atas meja, kemudian bernyanyi dengan lantang “Oyoh-Oyoh Hatikuuuu” entah kerasukkan apa itu anak, tiba-tiba saja ia berteriak seperti itu, mungkin karena ia jatuh cinta sama si Oyoh orang bongkor,, he he he he Ude Ude,, ada ada saja kamu ini. Pada waktu itu Dalam satu tahun ajaran terbagi menjadi 3 Catur Wulan, sehingga kami menempuh ujian sebanyak 3 kali dalam setahun. Saat pembagian buku laporan pada akhir caturwulan pertama aku sangat terkejut, terkejut karena disitu tertulis Ranking ke 1. Ha ha ha ha bukan main senangnya. Ranking ini dapat bertahan hingga akhir tahun ajaran, dan pada acara kenaikkan kelas aku dipanggil ke atas panggung untuk menerima hadiah. Sementara ranking 1 dari kelas siang jatuh pada anak yang bernama Deden orang lekor. Waktu itu aku belum begitu akrab dengan dia, setelah kelas 3, barulah aku akrab dengannya. Saat naik ke kelas dua, wali kelas kami adalah ibu Euis (Ibu Setiasih), pelajaran yang masih kuingat dikelas dua adalah pelajaran matematika yakni operasi penjumlahan dan pengurangan dengan metode kolom atau secara bersusun. Ibu Euis merupakan guru yang sering memberi pekerjaan rumah yang banyak. Namun aku tidak pernah mengerjakan PR, Maksudku bukan tidak mengerjakan PR Karena malas, tapi karena semua PR yang diberikan Ibu Guru langsung aku kerjakan saat itu juga. Sehingga aku tidak pernah membawa PR ke rumah. Selalu kukerjakan disekolah. Hal yang paling ekstrim saat kelas dua adalah kami sering pulang bareng lewat ke sawah, dan pada hari sabtu kami anak laki laki akan terjun nyebur ke sungai Cipala (aliran sungai dari gardu-ciseupan-nagrog-lembang-pangkalan). Sebelum terjun ke sungai kami semua berteriak “Isuk poe naon………??? “Mingguuuuuu” kemudian langsung nyebur. Anak yang biasa ngabalakan, memulai pertama adalah si Gin-gin kemudian disusul si Ude, si atep dan akhirnya semuanya nyebur kemudian berenang dan berjalan menyusuri sungai mulai dari kampung lembang hingga ke kampung nagrog. Dikelas dua ini ada anak yang tidak naik ke kelas 3 namanya si Sule sehingga dia menjadi teman kami dan sering pulang bareng. Apabila siang hari maka kami biasanya ngala jambu aer dirumahnya si atep, kemudian ngarujak bareng. Atau aku akan pergi bersepeda di jalan-jalan gang di dekat rumah. Saat naik ke kelas 3, kelas pagi dan kelas siang digabung menjadi satu, waktu itu wali kelas kami bernama pak Edeng, orangnya tinggi kurus dan berkumis. Beliau adalah guru yang terkenal “galak” waktu itu. Saat kelas 3 inilah perhelatan dimulai, mulai adu otak sampai adu otot sering terjadi. Maklum kami dari kampung yang berbeda. Dari SD 3 teman-teman kami ada Deden, Abdul, Dudun, Iman, Ridwan, Oka, Ropik, Karim, Ela, Ucu, Santi, Teteh, Evi, Riris, Imas, dan Wiwin.
Pada saat istirahat kami sering mengadu otot, jotos-jotosan, garelut, gulat karena Pada waktu itu, lagi trend acara televisi “Smack Down” meniru pukulan sikut dan hentakkan kaki gaya-gayanya The Rock (Dwayne Jhonson). Musuh yang paling tangguh adalah Si Opik, Si Karim, dan Si Mulyana. Alhasil badan rasanya sakit semua. Hingga permainan ini berakhir dengan berkelahi, ya berkelahi sungguhan antara si atep dengan si karim, yang dimenangkan oleh si atep. Sejak saat itulah pertandingan gulat dihentikan. Hal yang paling menyenangkan saat kelas 3 SD adalah saat menjelang pulang kami sering disuguhi kisah para nabi oleh Pak Edeng. Dan hingga kini masih terngiang ditelingaku kisahnya Nabi Yusuf a.s dengan saudara-saudaranya saat dimasukkan kedalam sumur dan kemudian dijadikan budak hingga akhirnya menjadi menteri kerajaan mesir. Mata pelajaran yang kusukai saat kelas 3 adalah mata pelajaran IPA, karena mata pelajaran ini adalah mata pelajaran baru bagiku, yang sebelumnya saat kelas 2 belum kukenal. Hal yang menempel di kepalaku adalah tentang “makhluk hidup” yaitu manusia-hewan-tumbuhan. Kesukaanku pada mata pelajaran IPA terus meningkat hingga aku kelas 6 SD. Pada waktu kelas 4 SD, Guru kami yang paling cantik dan sangat berpengaruh pada sikap dan tabiat teman-teman semua adalah “Ibu Tuti”. Ibu Tuti mampu menyulap kami satu kelas, dari tingkah “nakal” suka lari-lari, gaduh tatalu, rame, teriak-teriak atau ngobrol di dalam kelas menjadi anak-anak yang anteng, kalem, lugu dan penurut. Entah apa yang beliau masukkan kedalam kepala kami, yang jelas aku melihat semua teman-temanku menjadi manut-manut semua, anteng-kalem membuat suasana kelas menjadi “sepi-sunyi”. Tapi yang jelas bagiku waktu itu akupun merasa menjadi manusia yang “kalem”. Saat-saat pertama masuk kelas 4, Ibu Tuti tidak langsung memberi materi mata pelajaran, 2 atau 3 hari pertama yang dilakukan beliau adalah “Ceramah” yaa ceramah, mungkin hal inilah yang membuat kami berubah, dengan kata-katanya yang lembut, menyentuh, dengan tatapan mata yang mantap ditambah raut mukanya yang cantik mampu mengajarkan kepada kami tentang “sopan santun” bagaimana kami harus berakhlak kepada teman dan kepada Guru. Kata-kata Ibu Tuti yang masih menempel ditelingaku adalah “Jangan pernah mengatakan ”Dia bekas guru saya” tapi katakanlah “Dia Guru saya waktu SD”. Beliau menekekankan untuk menyapa dan menghormati guru dimanapun dan kapanpun bertemu, meskipun kami telah berkeluarga. Saat kelas 4 SD Mata pelajaran yang kusukai adalah mata pelajaran IPA, materi pelajaran yang masih kuingat adalah tentang sifat-sifat air. Ya masih jelas didepan mataku, sifat air yang mendasar itu ada 7, yaitu 1) Mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, 2) memberikan tekanan ke segala arah, 3) mampu meresap kedalam celah-celah kecil (kapilaritas), 4) dapat berubah wujud apabila dipanaskan atau didinginkan, 5) bentuknya sesuai dengan tempatnya, 6) Dalam keadaan tenang, permukaan air selalu mendatar. Dan yang terakhir 7) air dapat melarutkan benda-benda tertentu. Saat kelas 3 dan kelas 4 kami sering olah raga dan bermain bola. Olah raga yang paling digemari oleh kami adalah sepak bola dan bola tembak. Saat-saat olah raga adalah hal yang menyenangkan, kami sering bertanding antara siswa mantan kelas pagi dan kelas siang. Namun Memasuki kelas 5 dan 6 SD Olah raga yang disukai kami berubah drastis menjadi bola volley, hal ini karena di kampung Nagrog, Kanduruan dan kampung lembang tengah gencar-gencarnya membangun lapangan bola volley. Sehingga hal ini sangat berpengaruh pada kegiatan olah raga kami. Selain itu sekolah juga sedang mengikuti turnamen bola volley di kecamatan leles. Waktu itu dibawah komando Ibu Kepala sekolah, Ibu Suhaebah kami sering bermain bola volley ke SD Jangkurang dan SD Ciburial. Dikelas 5 SD aku dipertemukan dengan ibu guru yang sangat menyayangiku dan juga teman-temanku, menurutku beliau adalah guru yang paling hebat, beliau terkenal disiplin dan tegas. Beliau adalah Ibu Imas. Kami sering main kerumahnya saat sore hari mengerjakan PR, ngarujak atau melihat ikan lele, karena dirumah ibu Imas di daerah Nangoh rancasalak ada kolam ikan lele. Aku, Irfan, Atep, Nun, Santi, dan Egi sering bermain ke Nangoh membawa buah-buahan untuk membuat rujak. Ya, moment-moment inilah yang takkan pernah terlupa dalam kisah hidupku waktu SD. Di kelas 5 SD ini aku juga dipertemukan dengan anak soleh dan baik hati. Dia adalah siswa pindahan dari SD Rancasalak, dia bernama Syahrizal (Ade). Walaupun dia anak baru, namun kami sangat akrab, itu tak lain karena dia adalah sepupunya Ibu Imas. Sehingga kami cepat akraban, saat kami main ke rumah bu Imas dia juga selalu hadir. Bahkan saat kelas 6 SD Aku masih sering bermain ke Nangoh tanpa irfan, egi, atep maupun si nun dan santi. Di Nanggoh aku main bola volley, main bulu tangkis atau main bola pingpong bersama ade, san-san, bayu, dan putri. Saking asyiknya main, aku pernah kemalaman dan sampai menginap dirumahnya ade. Aku masih ingat sekali saat pagi-pagi dibelakang rumahnya kami disuruh mengambil telur itik yang sangat banyak sekali, sampai dapat satu ember , karena ayahnya ade memelihara itik yang cukup banyak dibelakang rumah. Di kelas 6 SD kami belajar bersama pak Adeng, beliau adalah guru yang hebat. Apabila berangkat sekolah, beliau sering memakai sepeda federal putihnya yang ramping, padahal rumahnya cukup jauh, yakni didaerah cihuni kadungora utara (POM Bensin kiaradodot masih keutara) itu karena beliau adalah guru yang Hobby berolahraga. Beliau sering ikut bermain bola volley bersama kami saat olah raga. Sehingga beliau menjadi guru yang akrab dengan kami. Saat duduk di kelas 6, Sebagai siswa yang paling tua disekolah, kami harus memberikan suri teladan yang baik kepada adik-adik kelas, maka dari itu, bila pagi hari sebelum bel masuk berbunyi, kami akan membantu Pak Aep untuk menyapu halaman sekolah. Alhasil banyak guru-guru yang mengacungi jempol pada siswa kelas 6 waktu itu. Hal yang menarik saat kelas 6 adalah adanya rotasi tempat duduk, tiap hari kami akan berotasi tempat duduk depan belakang, sementara tiap minggu kami akan rotasi ke samping. Susana inilah yang membuat kondisi belajar menjadi lebih bergairah dan tidak memberikan kesan boring. Event akbar yang tak terlupakan saat kelas 6 SD adalah adanya lomba cerdas cermat antar SD lembang. Pesertanya terdiri dari SDN 1 Lembang (Lembang), SDN 2 Lembang (Kanduruan) dan SDN 3 Lembang (Caringin). Dan yang menjadi duta SDN 1 Lembang adalah Aku, Irfan dan Kholis. Alhasil setelah melalui perhelatan akbar, ternyata SD 1 menjadi juara dan berhak menjadi duta SDN Lembang untuk maju ke tingkat Kecamatan di Leles. Namun di Kecamatan leles nasib kami kurang beruntung karena belum bisa bersaing dan memberikan yang terbaik. Walaupun demikian kami merasa bahagia dapat mengikuti moment akbar waktu itu. Dan saat yang paling penting waktu kelas 6 SD adalah saat ujian akhir, atau saat itu dikenal dengan evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS) 2001.
Kami semua harus lulus…….!!! Pihak sekolahpun memberikan perhatian yang serius. Dibawah komando Pak Kepala Sekolah, Pak Juandi kami mengikuti pelajaran tambahan (Pemantapan), mulai pukul 13.00 -15.00 WIB. Kami menggunakan waktu-waktu untuk belajar sebaik mungkin. Kami belajar dari buku-buku ebtanas, mengerjakan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya dan belajar mengisi lembar jawab computer dengan cara yang benar menggunakan pensil 2B, penghapus standard dan penggaris standard ujian. Alhasil kami dapat memetik hasil kerja keras, akupun sangat senang karena dapat meraih NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi dengan nilai 41.40 dari lima mata pelajaran yang diujikan yaitu : PPKN 8.20, Bhs Indonesia 8.20, Matematika dengan nilai tertinggi 9.00, IPA 7.60 dan IPS 8.40. Selama sekolah di SD aku selalu membanggakan kedua orang tua dan kakak-kakakku aku selalu menjadi ranking 1, semenjak kelas 1 hingga kelas 6 SD. Dan selalu mendapat hadiah pada saat acara kenaikkan kelas. Sehingga pak Edeng menyebutku sebagai pemborong, ha ha ha ha pemborong hadiah maksudnya.
Komarudin Story 5
Menghadapi masa-masa sulit
******************************
Bermodalkan nilai ebtanas murni, NEM 41.40, orangtuakau merasa sangat saying bila aku harus sekolah di tempat biasa. Untuk itu pada tahun 2001 setelah aku lulus ujian akhir kelas 6 SD aku didaftarkan masuk ke Sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) negeri 1 Kadungora. Padahal didekat rumahku di kampung caringin sudah berdiri gedung baru SLTPN 2 Leles. Namun orangtuaku ingin memberikan yang terbaik bagiku, sehingga aku disekolahkan di SLTPN 1 Kadungora di Jl Mandalawangi no 40 Batu Kasur, atau di jl Pasar baru Kadungora. Walaupun jarak sekolah dengan rumah sekitar 5 KM.
Waktu itu nilai NEM minimal untuk masuk ke SLTPN 1 Kadungora adalah sebesar 36. Ada dua orang teman kelasku juga daftar di sana, yaitu Irfan dan Evi. Kami didaftarkan oleh pak Adeng ke sekolah, namun ternyata kami tidak bisa duduk satu kelas, melainkan terpencar-pencar. Irfan masuk di kelas 1 C, Evi masuk dikelas 1 A, dan aku masuk dikelas 1 E. jumlah total kelas 1 di kadungora ada 8 buah kelas, mulai dari kelas A sampai dengan kelas H. menurutku ini adalah jumlah yang luar biasa banyaknya. Aku benar benar bersyukur bisa sekolah di SLTPN 1 Kadungora yang memiliki motto “SHIP” yang merupakan kepanjangan dari Spiritual kolegial, Handal dalam pelayanan, Imajinasi dan Imtaq tinggi serta Prima dalam prestasi. Saat memasuki gerbang sekolah disitu terpampang kata bijak “Luhur ku elmu, jembar ku pangabisa, tangtu bakal jadi jalma anu berwibawa” benar-benar kata yang memotivasi, pikirku. Saat itu aku harus mengganti seragam, dari merah putih menjadi biru putih. Karena letak sekolah yang dekat pasar baru, maka aku dan Ibu langsung pergi ke pasar setelah proses pendaftaran untuk membeli seragam dan perlengkapan sekolah lainnya. Pada waktu itu siswa kelas 1 masuk sore hari, yakni pukul 12.30 WIB. Dan pulang pukul 17.30 WIB karena pagi harinya, kelas digunakan oleh kelas 3. Pada masa ini aku merasakan perjuangan yang begitu berat, aku merasakan benar-benar letih. Aku sering pulang menjelang maghrib, Sepulang sekolah, aku langsung mandi kemudian berangkat ke mesjid untuk sholat maghrib dan belajar ngaji hingga sholat isya. Pulang dari mesjid aku baru bisa makan. Kalau badanku letih, maka aku akan langsung tidur, bila ada PR maka aku kerjakan di pagi hari. Aku juga berfikir kalau dilihat dari segi biaya, kulihat biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada sekolah di lembang, dan dari segi jarak apalagi sangat jauhnya, kemudian dari segi persaingan prestasi kulihat mereka adalah anak-anak yang cerdas, mereka lulusan SD di tingkat Kecamatan. Hal inilah yang kadang membuatku merasa sedih, berat, minder dan aku suka melamun. Aku merasa sedih, karena akan menjadi beban bagi orangtuaku, yang harus menanggung dua orang anaknya yang sekolah. Aku baru masuk SLTP butuh biaya banyak untuk uang gedung, uang spp, uang seragam dan atribut, uang buku paket LKS serta ongkos transportasi, dan waktu itu aku tidak memikirkan uang jajan, tidak mengapalah aku tidak mendapat uang jajan, toh aku masih merasa kuat dan bisa menahan lapar yang penting aku bisa sekolah di tempat favorit itu sudah luar biasa bagiku kala itu. Sementara disisi lain, kakakku sedang duduk dikelas 2 SMA, di SMAN 1 Leles yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara Aku merasa berat karena harus menempuh jarak sekolah yang begitu jauh. Siang hari sekitar pukul 11.00 WIB aku mesti berjalan kaki ± 1 KM ke terminal penclut, tempat pemberhentian angkutan kota. Kemudian dipenclut aku akan menunggu angkutan penuh penumpang untuk berangkat, dan aku butuh ongkos transportasi sekitar Rp. 1000 p/p waktu itu. Aku biasa berangkat pergi dan pulang bareng Irfan, berjalan kaki menuju penclut. Aku pulang sekolah maghrib sekitar pukul 18.00 WIB baru sampai rumah. Itupun bila kondisi cepat, atau bila kami dijemput mang eman ayahnya Irfan yang juga narik angkutan kota waktu itu. Namun bila mang eman tidak narik dan bila penumpang angkutannya sepi aku sering diturunkan di daerah rancasalak, atau didaerah jangkurang karena angkutannya sudah tidak ada penumpang lagi. Bila aku pulang sendiri, maka ditengah jalan aku akan meneteskan air mata, menangis dan berharap akan ada secepatnya angkutan yang datang dan membawaku ke penclut. Setiap pulang sekolah aku berharap ada mang Dana, dia adalah sopir angkot yang baik hati, dia tidak pernah tega menurunkan anak seklolah ditengah jalan, dia selalu mengantar pulang sampai penclut. Atau aku akan berharap akan ada angkotnya jang Ian, dia adalah teman kakakku dan suka bermain bola volley di kampong Nagrog, dia bahkan sering mengantarku sampai kampung nagrog. Selain itu Aku juga merasa minder melihat kondisi disekitar kelas dan teman-teman sekolahku. Dari segi ekonomi mereka adalah anak-anak yang mampu, mereka anak-anak orang kaya, sementara aku tidak demikian, aku datang dari kampong dan aku hanya orang sederhana dan biasa saja. Dari segi pendidikan dan gaya belajar, mereka berada selangkah didepanku. Kulihat mereka sangat kompak, sering diskusi dan mereka pintar matematika dan bahasa inggris. Semenjak hari pertama hingga menjelang ujian caturwulan aku sering melamun, merenung memikirkan suatu solusi yang bisa membawaku keluar dari semua masalah waktu itu. Aku mencoba mencari sisi lain yang bisa memberikan gairah dan semangatku dalam menghadapi masalah sekolah yang berat bagiku. Di kelas 1 E aku duduk sebangku dengan Si Dayat, Orang cikaso dia teman yang baik. Teman-temanku lainnya yang sangat akrab di kelas adalah Abdu, Muarif, Sandi, Encep dan Asep. Dengan merekalah aku sering pergi shalat berjamaah Dzuhur dan Ashar di Mesjid At Taufiq Mesjid sekolah yang berada persis disamping kelas 1E (3B). Kami membawa sarong dari rumah, karena celana seragam SMP kami memang pendek, seperti pada umumnya. Sementara teman lainnya ada Daud, angga, septian, yuda, riki, fauzan, sofyan, siddiq dan uke mereka adalah anak-anak kadungora. Sementara teman-teman putri ada Hesti, Eca, Yuli, Cici, Asri, siti, puspita dan Nurul (alm). Pada awal Hari-hari belajar kulihat suasana kelas dipenuhi dengan antusias dan semangat belajar siswa, aku melihat mereka memiliki semangat belajar yang tinggi. Apabila bapak atau ibu guru mengajukan pertanyaan, maka aku melihat begitu banyak tangan yang terangkat berlomba dan berebut memberikan jawaban. Sungguh gaya belajar yang berbeda 180 derajat dengan gaya belajarku di SD. Suatu hari, kami diberi bocoran rahasia oleh Ibu Guru, namanya ibu Sri, guru Matematika, beliau mengatakan bahwa kelas 1 E adalah kelas unggulan, karena siswa-siswinya diambil berdasarkan nilai matematika yang memiliki nilai 8 keatas. Dari situlah aku sadar, bahwa aku berada di kelas panas pikirku, kelas 1 E, kelas E-dan. Edan karena anak-anaknya didominasi oleh anak-anak yang tergolong cerdas, dan memiliki penyakit “Super Gaduh”. Aku tidak mengerti, kenapa anak-anak 1 E banyak yang suka ngobrol. Bahkan saking ramenya semua anak pernah disuruh berjemur oleh guru fisika, pak Zam-zam karena kelas tidak kondusif saat beliau mengajar saking gaduhnya. Mungkin karena dikelas 1 E waktu itu ada dua buah geng yang controversial, yaitu geng Gele dan Dados walaupun hanya sekedar geng mainan, sering gegelutan, kejar-kejaran, bahkan keroyokkan. Namun bila lagi kompak, kami akan bersatu dalam tim sepak bola melawan kelas lain disaat-saat istirahat sore hari menggunakan bola plastik. Kelas 1 E saat itu diwali kelasi oleh seorang Guru yang sangat berwibawa, namanya tidak akan pernah terlupa sepanjang hayat, beliau bernama Asep Sobur Spd yang sekaligus mengampu mata pelajaran bhs Indonesia. Guru-guru kami waktu itu ada Pak Mulyana (PAI), pak haris (PPKN), pak entis (Geografi), pak zam-zam (Fisika), bu nana (Biologi), bu sri (Matematika), bu ros (Ekonomi), bu Ebah (B Inggris), pak bachrudin (Seni), Bu Lis (TIK), juwansyah (pencak silat) dan wanita tua perkasa guru olah raga bu Rostiap. Mata pelajaran yang kusukai waktu itu adalah pelajarannya Ibu Sri, yang memiliki sepeda motor plat AB, mungkin beliau adalah orang Yogya sebab gaya bicaranya sangat khas “Medok jawa” dan gaya ngajarnya yang kalem. Materi pertama yang kuterima darinya adalah tentang himpunan, kemudian variable dan istilah yang sangat terkenal dalam dunia matematika, yaitu Mr x dan Miss y. sejak saat itulah aku sering menggunakan istilah x dan y dalam perhitungan matematika mulai dari persamaan, pertidaksamaan, koordinat cartesius, persamaan garis, polynominal ataupun aljabar. Ibu Sri orangnya terbuka dan selalu memberikan kesempatan kepada siswa-siswi untuk maju kedepan kelas dan hal inilah yang kusuka darinya. Kalau masalah maju kedepan kelas untuk mengisi soal, aku tak pernah absen. Selain pelajaran Matematika, aku juga mulai melirik pelajaran biologi. Ya aku mulai suka dengan biologi, karena ibu nana lebih sering praktikum daripada teori, aku mulai belajar biologi dengan organisasi kehidupan mulai dari individu, populasi dan ekosistem, aku diajarkan menggunakan Kuadran, aku menghitung populasi rumput jampang di halaman sekolah. Dan aku mulai memegang Alat yang dapat melihat benda-benda ukuran micro yang namanya disebut sebagai Microscop. Dengan Microskop kami mengamati jaringan daun-daunan, daun jagung, daun mangga, daun singkong serta melihat penampakkan hewan microorgannisme air. Di SLTPN 1 Kadungora aku mulai berkenalan dengan dunia computer, yang waktu itu masih menggunakan system DOS (Disk Operating System), aku mulai mengenal keping disket atau floppy disk untuk menyimpan data. Dari situlah aku mulai belajar mengetik menulis puisi atau lagu saat belajar Ms Word dan membuat table di Ms Execel. Olahraga yang paling digemari dikelas 1 E adalah sepak bola. Hamper tiap hari kami main sepak bola disekolah. Begitulah hari-hariku belajar di SLTP kelas 1. Pagi-pagi kubersih-bersih, mengerjakan PR, Ngarit kesawah kemudian siang aku baru mandi, dandan, nyamperin Irfan kemudian bareng-bareng jalan kaki ke penclut. Dari situ barulah kami naik angkot ke arah cikaso-pangauban-jangkurang-rancasalak-maribaya-kiragoong-karangtengah dan kemudian kadungora. Ooh……! perjalanan yang meletihkan bagi seorang anak SMP waktu itu. Hari yang paling berat kurasakan adalah hari sabtu, karena pada waktu itu seluruh siswa kelas 1 harus mengikuti upacara penurunan bendera di sabtu sore hari, sehingga kami sering pulang telat. Bahkan aku sering kemaghriban ditengah jalan. Hal ini membuatku jengkel, karena mengakibatkan aku telat ke mesjid untuk ngaji sehingga aku malu sama teman-teman di mesjid. Hari-hari itu terus terulang hingga aku naik ke kelas 2.
Saat penerimaan buku laporan Hasil ujian Semester pertama aku mengalami penurunan prestasi yang cukup drastis. Predikat juara Selama enam tahun di SDN 1 Lembang, telah tersurutkan di SLTPN 1 Kadungora, di kelas 1 E, aku hanya bisa menembus ranking ke 6, dari 44 siswa. Ranking 1 diraih oleh Daud, Ranking 2 oleh muarif, kemudian ranking 3 Asri, ranking 4 Cici dan ranking 5 Angga. Hasil ini membuat hatiku terpukul, untuk pertama kalinya aku harus terjatuh ke ranking 6, benar-benar sakit rasanya. Tapi mesti bagaimana lagi? hal itu merupakan suatu kenyataan yang harus diterima. Saat pulang kerumah aku merasa tidak tega harus memberikan buku laporan kepada kedua orang tuaku dengan laporan yang kurang membahagiakan tentunya. Begitu ayah mendengar dan melihat buku laporan itu, beliau langsung terkejut karena biasanya aku bertengger di ranking 1, namun aku mencoba menjelaskan kalau persaingan di kadungora jauh berbeda dengan yang ada di lembang, aku berjanji akan belajar lebih keras lagi sehingga mampu memberikan hasil yang lebih baik. Begitulah keadaanku saat-saat awal di SLTPN 1 Kadungora, letih, sedih, prestasi menurun membuat badanku menjadi kurus kering namun aku merasa lebih percaya diri saat itu karena tampak lebih cakep bila badanku ramping he he he, orang pertama yang memujiku waktu itu adalah a mahrip dan a iis yang saat itu keluarga wa Ika dari Jakarta pada datang ke Garut untuk silaturahim. Mereka bilang tampangku seperti orang Jakarta “putih cakep” wuih ngapung. Akupun sempat ngobrol dengan wa ika yang sudah sepuh. Aku masih ingat saat beliau pagi-pagi siduru di depan hawu (berdiang di depan tungku api tempat masak, karena udara garut memang dingin). Beliau mengambil cangkir yang berisi teh hangat, namun aku kaget kerana airnya dituangkan diatas badan kucing yang tengah tidur didepan hawu. He he he, dia berkata, kasian katanya, kucingnya kepanasan didepan api, haduuuh wa ika, wa ika ada ada saja, aya-aya wae atuh. Dan pada saat pulang ke Jakarta aku sekalian diantar sekolah naik mobil kijangnya ceu rimu. Salah satu pengobat lukaku waktu itu adalah saat caturwulan ke 2, aku belajar lebih giat lagi, belajar di perpustakaan, belajar dari buku-buku paket dan LKS. Aku mulai membuka diri untuk bertanya dan diskusi dengan teman-teman lainnya. Hingga di caturwulan ke 2 aku mampu naik satu peringkat menjadi ranking 5, benar-benar sulit pikirku. Selain itu, pengobat lukaku waktu aku kelas 1 aku sempat mengikuti lomba Adzan dalam acara PHBI Maulud Nabi Muhammad SAW dan aku berhasil menjadi juara ke II, Alhamdulillah pikirku, hal itu merupakan berkahku karena sering melantunkan adzan maghrib dan isya di Mesjid Al Hidayah Kampong Nagrog. Juara I, waktu itu diraih oleh teman kelasku Abdu oang cisaat, dan juara III diraih oleh anak kelas 1 G yang bernama Zam-zam. Dari hasil lomba adzan itu aku memperoleh 1 Pack buku dan alat tulis, Alhamdulillah. Pada caturwulan 3, akhirnya sinar mentari mulai bersinar menerpa hatiku, memberi kecerahan langkah demi langkahku. Atas berkah dan rizki dari Allah SWT aku dianugerahi beasiswa dari pihak sekolah, beasiswa yang nilainya sangat banyak waktu itu. Aku menerima uang beasiswa, kalau tidak salah dapat Rp 120.000,00/bln. Waktu itu biaya spp di SLTPN 1 Kadungora masih Rp 15.000,00/bln. Aku begitu kaget bercampur senang, karena untuk membiayai sekolahku nilai itu sudah cukup, bahkan lebih dari cukup, saking bahagianya aku langsung membeli sepatu, tas, buku, pulpen, penggaris dan semua kebutuhan sekolahku. Sisa uang belanja aku kasihkan semua pada ibu, ohh alangkah bahagianya waktu itu. Semenjak itu aku terus memperoleh beasiswa hingga kelas 3 SLTP dan lulus ujian. Orangtuaku tidak perlu lagi memikirkan biaya sekolahku. Memang benar, setelah kesulitan pasti ada kemudahan itulah kata Al Qur’an dalam Al Insyiroh. Dengan mendapat beasiswa itu aku merasa mendapatkan suatu energy yang besar untuk bangkit dan mendorongku dari keterpurukan waktu itu.
Komarudin Story 6
Kembali bersinar dan menjadi Kebanggaan Keluarga
********************************************************
Prestasiku semakin gemilang, terutama di kelas 2 dan kelas 3 SLTP. Dikelas 1 E, aku hanya bertengger di ranking 6 hingga akhir tahun. Setelah naik ke kelas 2, aku mendapatkan prestasi baru di kelas baru yakni kelas 2 A, namun teman-temannya berbeda dan sebagian masih ada teman dari kelas 1 E, seperti sandi, yuda, hesti dan riki. Sementara teman-teman baruku ada Aep, Dani, Nandar, Irfan, Ilyas, Rully, Ujang, Oca, Ahmad, Aang, mamat, dan eful. serta wajah wajah cantik Dina, Rita, Puput, Rida, Lugina, Riska, Selvi, Asrinda, Tanti, nety dan sebagian teman yang kulupa namanya siapa. Kelas 2 A waktu itu menempati ruangan kelas yang kurang beruntung karena kelasnya sedang direnovasi, maka kami terpaksa ditempatkan diruangan seni. Walikelas kami waktu itu adalah seorang guru cantik dan berkacamata, beliau Ibu Rida namanya, seorang guru Biologi. Sementara guru lainnya ada pak Aceng PAI, Bu Imas Dida PPKN, Pak Engkus Matematika, pak Sofyan (Fisika) Pak Asep Sobur Bhs Inggris (wali kelasku di 1 E), bu Imas doank Bhs Sunda, Pak Zaenal Ekonomi (Guru paling galak), dan guru sejarah yang kocak bu Diana. Dikelas 2 A aku pasang target tinggi, yakni target juara. Misi dan target ini kujalani dengan kerja ekstra keras. Hari-hari istirahat aku habiskan untuk membaca buku diperpustakaan, aku berfikir tidak boleh mengulang kegagalan dikelas 1 E, semua jenis buku mata pelajaran aku pinjam dari perpus, semua LKS aku isi tanpa menyisakkan ruang kosong dalam setiap pertanyaannya. Kini hanya pertanyaan soal di LKSnya saja yang kupikirkan, tanpa harus memikirkan biaya LKS yang mesti dibayar, karena semua buku LKS telah kubayar LUNAS dengan uang beasiswa. Waktu itu tidak ada kata main-main dalam belajarku. Dikelas 2 A, buku PR ku selalu menjadi bahan rujukan teman-teman (contekkan maksudnya). Mata pelajaran yang kusukai di kelas 2 A adalah pelajaran Fisika dan Biologi. Dikelas 2 A, kami masuk pagi hari karena mendapat kelas pagi masuk pukul 07.00 WIB – 12.00 WIB. Dan pada saat kelas 2 A mendapat jatah sebagai petugas upacara, aku turut ambil bagian sebagai pembaca UUD 45, sementara pemimpin upacara waktu itu dipegang oleh Rully sang ketua kelas. Di kelas 2 A, aku juga ikut aktif dalam Kegiatan OSIS sekolah memegang sekertaris bidang Imtaq dan sering aktif di acara-acara PHBI sekolah. Di kelas 2 A, olah raga favorit kami adalah bola volley, bersama anak-anak rancasalak Rully, Puput, Ujang, Oca dan Mamat. Mereka sangat bagus sekali main bola volley karena sering main di rancasalak. Sementara aku juga sering ikut main di lapangan bola volley kampung nagrog.
Hasil belajar dan kerja kerasku dikelas 2 A ternyata menuai hasil, saat penerimaan buku laporan Semester 1 aku melihat disitu tertulis ranking 1 dari 43 siswa. Yaa Allah bahagianya aku saat itu…! Dan ranking 1 di kelas 2 A dapat kupertahankan hingga akhir tahun. Waktu itu tahun 2002, system kurikulum berganti, dari catur wulan menjadi system semester. Waktu pembagian buku rapor, aku diberi hadiah buku oleh wali kelasku Ibu Rida. Pengalaman yang takkan kulupakan di kelas 2 A adalah saat mancing ikan bersama Pak Asep Sobur, Pak Engkus dan pak Dede (guru TIK). Secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuanku mereka datang ke rumahku di kampong Nagrog, Lembang. Aku begitu kaget ketika mereka semua sudah ada diruang tamu, waktu itu hari minggu pagi ketika aku sedang pergi ke kebun aku dipanggil oleh ibu supaya cepat pulang karena ada tiga orang guru yang datang ke rumah. Walhasil hari itu menjadi hari mancing mania yang membahagiakanku. Biasanya aku pergi mancing disore hari dan hanya seorang diri, namun pagi itu aku bisa mancing bareng guru-guruku yang kubanggakan. Waktu itu dikolamku kebetulan lagi banyak ikan lele dan ikan mas. Kami berlima aku, ayah, pak asep, pak engkus dan pak dede, pergi ke balong (kolam) sebelah barat dekat rumahnya wa ola, karena kolam disitu cukup sejuk banyak pohon kelapa, pohon nangka, pohon papaya, tangkil (melinjo) serta pohon pisang sehingga suasananya cukup nyaman. Kegiatan mancing kami diakhiri dengan bakar-bakar ikan mas, dan makan siang bareng. Oohh itulah suasana yang indah dan selalu kurindukan. Dan saat-saat dikelas 2 A, Aku takkan melupakan kejadian penting, Saat ku dikelas 2 SLTP di awal tahun 2003 ada suatu kejadian alam yang sangat mengerikan, yaitu terjadinya musibah banjir dan longsor gunung Mandalawangi Kadungora pada tanggal 28 januari 2003 malam hari yang menewaskan banyak korban jiwa dan menghantam pemukiman penduduk. Waktu itu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana bekas-bekasnya di pagi hari. Rumah-rumah roboh, tertimbun tanah, air mengalir deras dimana-mana, batu-batu besar bertebaran dan orang-orang berlumuran lumpur. Namun yang membuat aneh adalah bangunan mesjid nengeng yang tidak mengalami kerusakkan, ia tetap kokoh terhindar dari bencana. Aku juga sempat menengok wa sarju saudara ibu di bojong jambu-bojongsalam kadungora yang terkena musibah, menurut cerita beliau, pada malam hari terdengar suara gemuruh seperti batu-batu besar yang berjatuhan dan suara-suara pohon patah dan tumbang. Wa sarju dapat terselamatkan oleh puteranya setelah sebelumnya sempat terkubur tanah setengah badan. Benar-benar bencana yang mengerikan.
Prestasi sekolahku di SLTPN 1 Kadungora nampaknya semakin baik dan berkembang terus hingga ku duduk di bangku kelas 3 F. Teman-teman baruku dikelas 3 F tergolong teman-teman yang solid semua dan akraban. Dikelas 3 F temanku ada Sandi, Adi, Riki, Asep, Rudi, Aang, Yusuf, Ujang, Emuy, Aples, fauzan dan Medok. Sementara teman-teman putriku ada evi (teman SD), septi, yuli, Siti, Fitri, riska, imas neng haji, eni, ica, asri, atun, roshan dan teman-teman lain yang kulupa namanya. Dikelas 3 F ini aku dipertemukan kembali dengan wali kelas baruku yang tak lain adalah wali kelasku dikelas 1 E, beliau adalah Pak Asep Sobur sekaligus pengampu Bhs Sunda, jadi selama 3 tahun berturut-turut aku bertemu dengan beliau. Sama halnya dengan temanku sandi, dia juga berturut-turut selama 3 tahun sekelas terus denganku, sehingga aku sudah menganggapnya sebagai saudara kandungku sendiri. Guru-guru yang mengajar di kelas 3 F diantaranya ada Pak Mulyana PAI, pak Agus B Indonesia, Pak Rustandi Biologi, pak Tata Fisika, Bu Ai Matematika, Pak Ade Olah raga, dan Bu ross bhs Inggris. Dikelas 3 F aku mendapat rezeki sepeda federal baru yang sangat bagus nan indah, warna depannya kuning dan hitam bagian belakangnya. Aku sangat bahagia sekali dengan sepeda baruku itu. Waktu itu disekolah banyak anak yang memakai sepeda, sehingga aku juga terpikir untuk membawa sepedaku kesekolah. Dan akhirnya selama satu tahun aku berhenti meminta uang transport karena setelah punya sepeda aku berangkat sekolah dengan bersepeda. Waktu itu aku melewati daerah lembang-lekor-batubawang-haur kuning-kerenceng-geger junti-kemudian kadungora. Perjalanan naik sepeda ternyata lebih cepat daripada naik angkutan umum, karena jalan yang dilalui adalah jalan yang memotong langsung sehingga jaraknya lebih dekat. Waktu itu teman-temanku yang pakai sepeda ada riki, rully, asep, aang dan adi. Aku sangat bahagia sekali, karena kedua orangtuaku tak perlu memikirkan biaya sekolahku lagi, tanpa uang spp, uang seragam, buku, tas, sepatu, uang LKS, ataupun transport semuanya sudah bukan masalah lagi bagiku. Mata pelajaran favorit bagiku waktu itu adalah mata pelajaran Biologi yang diampu oleh Pak Rustandi. Aku sangat senang karena pak Rustandi selalu mengajar dengan cara yang sederhana, unik dan menarik serta selalu membawa contoh konkrit. Aku dulu pernah praktik mencangkok mangga, menanam kacang merah, tauge, membawa antanan, kentang, umbi-umbian dan segala pernak-pernik hal yang ditugaskan selalu kupenuhi dan kubuat resumenya. Alhasil aku dapat menjadi siswa yang terdepan dibidang biologi. Aku senang sekali belajar biologi seperti itu, pak rustandi sering mengajakku berdiskusi dan menyuruhku untuk presentasi didepan kelas. Selain Biologi, aku juga senang belajar matematika sama guru yang berkerudung. Beliau adalah Bu Ai. Bersama bu ai aku belajar bangun ruang dan geometri. Prestasiku menjadi ranking 1 di kelas 3 F, mampu kupertahankan hingga aku lulus SLTP. Aku merasa bahagia karena di dua tahun terakhir prestasiku di SLTP menjadi lebih baik. Aku dapat kembali menjadi putra kebanggaan ayah, Ibu dan Kakak-kakakku. Di dua tahun terakhir aku kembali bersinar dan menjadi kebanggaan Keluarga.
Kenangan indah di kelas 3 F adalah saat kami sekelas pergi wisata ke Curug Orok (wisata air terjun) garut bersama pak Asep sobur, mekel timbel, pais lauk dan sambel bawang aih enaknya. Dicurug orok kami mandi, renang, makan-makan, cerita-cerita dan foto-foto bersama, namun sayang tak ada gambar yang dapat kusimpan satupun sebagai kenangan. Kenangan indahku di SLTPN 1 kadungora akan terus kusimpan dalam benakku, mulai dari Kepsek jamannya pak Cholid Zawawi hingga jamannya pak Maman. SLTPN 1 Kadungora telah mengantarkan aku ke jenjang sekolah yang lebih tinggi ke SMAN 1 Leles. di Tahun 2004 aku lulus UAN dengan hasil yang cukup memuaskan. Aku menerima surat tanda lulus dengan nilai rata-rata 7.53 untuk teori dan 7.98 untuk praktek. Nilai tertinggi teori jatuh pada mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan 9.58 dan Nilai tertinggi praktik jatuh pada mata pelajaran pendidikan agama dengan nilai 9.00